Aceh Selatan, April 2018) Petugas Taman Nasional Gunung Leuser Wilayah I Tapaktuan menyita Kucing Hutan Sumatera (Felis bengalensis sumatrana) dari tangan beberapa orang pemuda di jalur lintas Tapaktuan - Medan, Desa Fajar Harapan, Kec. Pasie Raja, Aceh Selatan pada Sabtu (7/4). Kejadian berlangsung pada pukul 14.15 WIB. Hewan yang dilindungi itu kemudian digiring ke Kantor []

7. Terletak di dua provinsi, yaitu Sumatera Utara dan Aceh Meskipun bernama “Leuser,” secara administratif wilayah Taman Nasional Gunung Leuser TNGL tidak hanya masuk ke dalam wilayah Provinsi Aceh. Sebagian wilayah TNGL masuk ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Maklum saja sebab TNGL lumayan luas, sekitar hektare. 6. TNGL adalah kumpulan dari berbagai cagar alam dan hutan Dalam wilayah TNGL, terdapat banyak cagar alam dan hutan, antara lain Cagar Alam Gunung Leuser, Cagar Alam Kappi, Cagar Alam Kluet, Suaka Margasatwa Sikundur-Langkat, Stasiun Peneltian Ketambe, Singkil Barat, dan Dolok Sembilin. Pantas saja luas TNGL mencapai sejuta hektare! Trek Leuser via Flickr/Neil 5. Sungai Alas membelah TNGL menjadi dua bagian, yakni barat dan timur Mengalir melalui Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, dan Kabupaten Aceh Selatan, Sungai Alas Lawe Alas yang bermuara di Samudra Hindia ini membelah TNGL menjadi dua. Nama Sungai Alas berasal dari nama suku bangsa asli yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara, yakni suku Alas. 4. Dihuni 89 spesies fauna langka dan dilindungi Sebagai cagar biosfer dan warisan dunia world heritage, TNGL adalah kawasan yang dihuni beraneka ragam flora dan fauna. Menariknya, 89 spesies fauna dari sekitar 130 mamalia dan 325 burung itu dikategorikan sebagai spesies langka dan dilindungi. Beberapa di antaranya adalah orangutan sumatera Pongo pygameus abelii, badak sumatera Dicerorhinus sumatrensis, harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, gajah sumatera Elephas maximus, beruang madu Helarctos malayanus, rangkong papan Buceros bicornis, ajag Cuon alpinus, dan siamang Hylobates syndactylus. 3. Trek pendakian gunung terpanjang di ASEAN Jika dibandingkan dengan trek Leuser, trek Argopuro yang terpanjang di Jawa akan terasa seperti trek pendakian Sabtu-Minggu. Bagaimana tidak jika untuk ke puncaknya saja perlu waktu sekitar 10-14 hari dengan menempuh jarak sekitar 51 km Argopuro sekitar 59 km tapi dihitung dari Baderan ke Bremi. Pendakian Leuser dapat dilakukan melalui tiga jalur, yakni Kedah, Agusan, dan Meukak. 2. Ada tiga puncak yang bisa dicapai di Taman Nasional Gunung Leuser Di Taman Nasional Gunung Leuser ada tiga puncak yang letaknya berdekatan, yakni Gunung Leuser mdpl, Puncak Leuser mdpl, dan Puncak Tak Punya Nama yang terpaut sekitar 100 meter dari Puncak Leuser. Salah satu ruas trek di Gunung Leuser via Flickr/Neil 1. Waktu terbaik untuk berkunjung adalah antara bulan Juni sampai Oktober Meskipun kamu bisa berkunjung ke sini kapan saja jangan lupa untuk mengurus perizinan, ya, ada waktu-waktu terbaik untuk mengunjungi TNGL, yakni di bulan-bulan kering antara Juni sampai Oktober ketika curah hujan tidak setinggi musim hujan. Mendaki di musim-musim basah akan terasa lebih berat dan melelahkan. TelusuRI Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tamannasional ini meliputi ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis. Dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Gunung Leuser memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu:
“c’est parti mon kiki,” kata Romy Sahbudin Putra, sang pemandu. Ucapan dalam bahasa Perancis ini kerap terdengar kala perjalanan saya bersama Tim Hutan Itu Indonesia, membelah zona penyangga Taman Nasional Gunung Leuser Leuser, Agustus lalu. Kata itu, dalam bahasa Inggris, dapat diartikan sebagai let’s go–Ayo berangkat! Kata itu diucapkan bak jadi penyemangat. Asal muasal kata ini dari salah satu anggota perjalanan kami, Yoan Mocano, turis asal Perancis. Yoan, salah satu dari sekian banyak wisatawan mancanegara yang saya temui saat menikmati keindahan Leuser. ”Hutan Indonesia itu unik, hutan hujan tropis, saya sangat senang datang khusus menjelajah hutan. Tahun lalu, saya ke Kalimantan,” katanya saat ditanya alasan berlibur ke Leuser. Benar sekali ucapan Yoan. Saya begitu menikmati saat menjelajah Leuser– hutan tropis terbesar di Indonesia ini. Udara segar, pemandangan indah dengan kekayaan keragaman hayati dan mata air nan jernih tiada henti mengalir. Kedondong hutan. Keragaman hayati nan kaya di Taman Nasional Gunung Leuser, baik flora dan fauna. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Keterancaman Saat menikmati sore hari di pinggir Sungai Lawe Gurah, Romy menceritakan keterikatan dia dengan Leuser. Sejak usia sembilan tahun, pria kelahiran Desa Ketambe ini sudah menjelajah Leuser ikut sang kakek. Jiwa petualang, belajar dari alam, maupun menjaga hutan turun temurun di keluarga Romy. Hidupnya memang di alam. Kicauan burung maupun suara binatang lain hingga mesin chain saw gergaji mesin pembalak liar biasa dia dengar. ”Waktu itu, saya lagi memandu wisatawan asing, dengar chain saw. Mereka membawa kayu melewati kita dan burung yang dalam sangkar,” katanya. Kala itu, ketiga anak sang wisatawan berusia lima tahun, 9 tahun dan 15 tahun, menangis. Mereka takut dan sedih melihat hutan mendapat perlakuan seperti itu. Kala itu, awal 2000-an. ”Dia marah mengapa sudah membayar Simaksi, tapi hutan tak dilindungi,” katanya. Romy pun terpukul. Miris. Betapa orang yang jauh-jauh datang demi menikmati alam nan indah, sementara mereka yang berada lebih dekat, malah merusak. Romy pun bertekad menjaga hutan. Dia kuliah di Fakultas Kehutanan di Banda Aceh. “Ancaman TNGL saat ini dari perusahaan-perusahaan. Sawit selalu menang daripada kehutanan dan masyarakat,” katanya. Alasan ekonomi, kata Romy, seringkali jadi pertimbangan para pihak berwenang. Mungkin bagi mereka, menumbangkan pepohonan di hutan atau babat hutan demi pebisnis, lebih memberikan keuntungan dibandingkan menjaga hutan beserta keragaman di dalamnya. “Itu salah.” Dia bilang, alam terjaga bisa memberikan manfaat melimpah bagi manusia. Orangutan Sumatera, salah satu satwa kunci di TN Gunung Leuser. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Romy contohkan, potensi besar ekonomi dari ekowisata, seperti tempat penginapan, pemandu dan paket wisata arung jeram Sungai Alas dan banyak lagi. Teuku Yaknana Johan, pemilik Wisma Cinta Alam di Ketambe, juga ayah Romy mengatakan, dengan mengelola tempat penginapan, bisa menghidupi keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Dia mulai terjun ke dunia wisata sejak usia 15 tahun. Hobi arung jeram mengawali debut Johan sebagai pemandu arung jeram. Dia juga memandu melihat satwa liar. Johan berpesan, tak menyia-nyiakan masa muda dengan hal tak berguna, seperti berpesta dan pergi ke mal. Banyak satwa dan tumbuhan kekayaan alam negeri ini yang bisa dinikmati, seperti Leuser. Keunikan Leuser, kawasan ini punya empat satwa kunci, harimau, gajah, orangutan dan badak Sumatera. Wisma Cinta Alam sejak 1986, beberapa tahun setelah peresmian Leuser. Pada 80-an, banyak wisatawan mancanegara datang ke Ketambe untuk melihat orangutan. Kala itu, orangtua Johan membangun penginapan di situ. “Tahun 90-an kami sempat kolaps. Baru 2007, saya mulai bangun wisma ini kembali karena potensi wisata makin baik,” kata Johan. Romy menambahkan, kalau mau bertemu satwa-satwa itu lama waktu kunjung berbeda-beda. Untuk melihat orangutan, katanya, perlu 1-2 hari perjalanan, gajah enam hari, harimau 10 hari, dan badak 14 hari. ”Habitat mereka mulai terancam, jangan sampai makin kritis dan anak cucu hanya mendengar cerita, seperti cerita dinosaurus,” katanya. Pemandangan sekitar TN Gunung Leuser dari penginapan Wisma Cinta Alam di Desa Ketambe, Aceh Tenggara. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia *** Desa Ketambe, satu desa di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, yang berbatasan langsung dengan Leuser. Kala membuka jendela kamar tempat peristirahatan kami, tampak dari kejauhan perbukitan di Leuser, penuh kabut. Hari itu, 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia. Perasaan saya campur aduk. Ada rasa kagum, bangga dengan keindahan alam Leuser. Sisi lain, khawatir akan keberlanjutan pelestarian alam Leuser ini. Pukul kami siap jelajah Leuser. Kami memulai dengan mencari jalan memecah ilalang-ilalang yang menutupi jalan setapak, menaiki bukit dengan sekeliling perkebunan nenas masyarakat. Sampai kira-kira sekitar 500 meter, kami sudah berada di perbatasan antara Desa Ketambe dengan Leuser. “Batas Taman Nasional Gunung Leuser,” begitu plang berwarna kuning terpampang pada sebuah pohon, berpagar besi berduri. Satu per satu kami melompat ke sana. Dari situ, kami sudah bisa melihat Sungai Alas. Sungai yang biasa disebut dengan Lawe Alas, terletak dekat penginapan kami. Ia , sungai terpanjang di Aceh yang melintasi Leuser dan mengalir sampai ke Samudera Hindia. Hutan masih alami, berbeda dengan jalur jelajah taman nasional yang biasa saya datangi di Pulau Jawa. Hampir saya tak pernah menemukan sampah sepanjang perjalanan. Suara rangkong, monyet kedih biasa dikenal dengan Thomas leaf monkey menyambut kedatangan kami. Monyet dengan nama latin Presbytis thomasi ini merupakan spesies endemik Aceh dan masuk dalam kategori rentan oleh IUCN Red List. Kuncup bunga Rhizanthes lowii di Taman Nasional Gunung Leuser. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Tengah perjalanan menuju tempat berkemah, kami beruntung melihat orangutan Sumatera Pongo abelii betina sedang menggendong anaknya. Dia bergelayutan dari satu ranting ke ranting lain. Berpindah dari satu pohon ke pohon lain. ”Kalian beruntung bisa melihat orangutan hari pertama,” kata Romy. Agustus, bukan musim buah. Kalau mau melihat orangutan biasa harus berjalan lebih jauh. Tanpa disangka, dalam perjalanan tiga hari dua malam, kami melihat tiga kali orangutan. Kami pun menyaksikan bersama dengan wisatawan mancanegara mulai dari anak-anak hingga dewasa. Kami melihat, bak pertunjukkan baik melalui mata telanjang, kamera handphone maupun kamera digital. Kami berpindah mengikuti orangutan kala mereka berpindah, sampai sudah tak lagi kelihatan. Orang utan seringkali muncul saat kami mengamati pucuk pohon. Bila ada yang bergoyang, kemungkinan ada satwa di sana. Bahkan dari tempat kami berkemah, orangutan sempat menyebrang sungai dengan bergelayutan di pohon. Tepian Sungai Gurah, jadi penginapan kelas mewah yang pernah saya inapi seumur hidup. Betapa tidak. Beristirahat sambil menikmati hutan, batu-batuan besar, air jernih, dan berarus sedang. Kita bisa berenang dan bermain air di sana. Selama perjalanan, kami sering mendengar suara beruang madu, owi, trogon, sunbird juga siamang black gibbon. Suara mereka bak lagu alami yang tiada henti mengiringi langkah kaki yang bersentuhan dengan dedaunan. Dekat tempat berkemah, kami pun menemukan salah satu jenis bunga bangkai, Rhizanthes lowii. “Masih satu keluarga dengan tumbuhan Rafflesia. Bentuknya bulat berwarna merah merona. Akan menghitam ketika kekurangan cadangan air.” Bunga itu ditemukan saat mulai menjauh dari sungai. Air terjun di TN Gunung Leuser. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Dalam perjalanan itu, kamipun sering menemukan jamur-jamuran dan tumbuhan liana. Liana ini sangatlah bermanfaat bagi orangutan. “Ia sumber pakan dan sarana penopang pergerakan pindah tempat maupun istirahat,” begitu penjelasan Tatang Mitra Setia dalam jurnal Peran Liana dalam Kehidupan Orangutan. Bentuk melilit atau bergelantungan pada pohon besar– satu ciri hutan hujan tropis. Sekitar 90% liana berada di hutan tropis. Bahkan di Hutan Ketambe, diketahui pada 2009 sekitar 13,55% berupa liana. Bagi saya, begitu banyak manfaat dalam perjalanan tiga hari dua malam di Leuser. Saya belajar bahwa kayu pinus dengan wewangian khas itu ternyata mengandung minyak. “Tidak semua kayu pinus bisa, hanya endemik Aceh. Kalau kita buat api unggun, kita tak memerlukan minyak,” katanya. Ada juga flora unik lain seperti buah beberut. Bentuk bulat seperti terong hijau, warna menguning saat matang dan siap santap. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Mungkin ini kata yang tepat untuk perjalanan kami ini. Sekali pergi, banyak hal kami lihat dan nikmati. Antara lain, permandian air panas Lawe Gurah, bak jacuzzi pool yang ada di Leuser. Di satu aliran sungai ini, kita bisa berlarian dari air panas, hangat atau dingin, sesuai selera. Nikmatnya… Jacuzzi pool ala di Taman Nasional Leuser inipun jadi bonus terakhir perjalanan kami sebelum kembali ke desa. Rasa lelah seperti terbayar tuntas dengan menikmati keindahan Leuser yang tiada tara. Berharap Leuser terus lestari. Jacuzzi pool, permandian pencampuran antara air panas dari dalam bumi dengan air terjun yang mengalir. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Liana melilit dan bergelantungan pada pohon besar. Liana ini sangatlah bermanfaat bagi orangutan sebagai sumber pakan dan penopang dalam pergerakan pindah tempat dan istirahat. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Artikel yang diterbitkan oleh aceh, Deforestasi, featured, Hidupan Liar, Hutan Hujan, hutan indonesia, hutan konservasi, hutan lindung, Hutan Rakyat, kerusakan lingkungan, Masyarakat Adat, Perubahan Iklim, Satwa, sumatera Liputan6com, Medan - Polisi Hutan (Polhut) dari Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat, menangkap 2 orang tersangka pemanfaatan hasil hutan kayu tanpa disertai dokumen yang sah di daerah Kecamatan Sawit Sebrang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.Kepala BPTN Wilayah III Stabat Sapto Aji Prabowo mengatakan, pihaknya telah menyita barang bukti berupa 1.050 gagang cangkul berbahan Bukit lawang menawarkan kekayaan ragam hayati taman nasional gunung leuser sebagai cagar biosfer dunia untuk hutan hujan sekitar setengah jam perjalanan dari pinggir sungai, pengunjung akan tiba di sebuah gerbang yang didirikan oleh balai besar taman nasional gunung leuser, sebagai tanda batas sekaligus pintu masuk menuju kawasan hutan. Gerbang ini difasilitasi dengan shelter peristirahatan dan sarana observasi untuk menikmati panorama jauh ke dalam, lapisan demi lapisan vegetasi semakin rapat dan liar. Hutan hujan terkenal dengan pepohonannya yang khas tropis, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, serta berfungsi sebagai habitat terakhir bagi sejumlah mamalia dan primata langka di sumatra.
Letakadministrasi: Kedah adalah sebuah kawasan wisata di Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di Desa Penosan Sepakat Kecamatan Blangjerang Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh, yang didominasi oleh pemandangan sawah dan pegunungan hutan pinus alami. Kedah merupakan pintu masuk ke jalur pendakian dan akses terakhir kendaraan sebelum trekking ke hutan atau mendaki Gunung Leuser. Desa []
- Taman Nasional Gunung Leuser TNGL merupakan salah satu taman nasional di Indonesia yang sudah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia. Taman Nasional Gunung Leuser berada di Provinsi Aceh yang luasnya mencapai hektare. Luas Taman Nasional Gunung Leuser itu secara administratif mencakup sejumlah kabupaten di Aceh dan Sumatera juga Mengenal 6 Taman Nasional Indonesia yang Ditetapkan Sebagai Situs Warisan Dunia Di Aceh wilayahnya mencakup Kabupaten Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, dan Aceh Temiang. Sedangkan di Sumatera Utara wilayah Taman Nasional Gunung Leuser mencakup Kabupaten Dairi, Karo, dan Langkat. Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser Taman Nasional Gunung Leuser atau yang disingkat TNGL sebenarnya sudah dijadikan sebagai pusat penelitian hayati sejak masa Hindia Belanda. Awalnya pad atahun 1927, pemimpin lokal Aceh meminta pemerintah kolonial untuk melindungi kawasan di Lembah Alas. Tahun 1928, datang lagi usulan agar Belanda melindungi kawasan Singkil bagian selatan, hingga sepanjang Bukit Barisan, dan Rawa Pantai Meulaboh di utara. Kemudian pada tanggal 6 Februari 1934, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menandatangani Deklarasi Tapaktuan. Pada 3 Juli 1934, Hindia Belanda menetapkan Suaka Alam Gunung Leuser dengan luas hektare. Tahun 1935, Belanda menetapkan Suaka Margasatwa Kluet yang luasnya mencapai hektare. Suaka Margasatwa Sekundur lantas ditetapkan pada 1938 dengan luas hektare. Pada 1976, pemerintah Indonesia menambah suaka margasatwa baru yaitu Suaka Margasatwa Kappu dengan luas hektare. Lalu pada 6 Maret 1980, Indonesia menjadikan satu kawasan-kawasan tersebut sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Gunung Leuser. Flora dan Fauna di Taman Nasional Gunung Leuser Shutterstock/Mazur Orangutan Sumatera menjadi salah satu spesies yang dilindungi di Taman Nasional Gunung LeuserTaman Nasional Gunung Leuser memiliki tipe ekosistem yang sangat beragam, mulai dari hutan pantai, rawa, hutan dataran rendah, hingga pegununga subalpine. Kawasan Ekosistem Leuser di kawasan ini mencapai 2,2 juta hektare, yang mmeiliki hulu 10 sungai utama di Aceh. Dari kondisi tersebut, Taman Nasional Gunung Leuser memiliki dan melestarikan beraneka ragam flora dan fauna langka. Flora di Taman Nasional Gunung Leuser erat hubungannya dengan flora di Semenanjung Malaysia, Kalimantan, Jawa, bahkan terdapat jenis flora di Taman Nasional Gunung Leuser ini. Kawasan ini juga memiliki tumbuhan langka dan khas, seperti daun payung raksasa, bunga raflesia, hingga Rhizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter. Selain itu, terdapat tumbuhan yang unik yaitu ara atau tumbuhan pencekik. Sementara fauna di Taman Nasional Gunung Leuser berupa mamalia, burung, reptil, amfibi, ikan, dan invertebrata. Sebanyak 65 persen dari 129 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera terdapat di Taman Nasional Gunung Leuser ini. Empat spesies yang menjadi satwa kunci di taman nasional ini adalah Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Orangutan Sumatera, dan Badak Sumatera. Baca juga Taman Nasional Meru Betiri Lokasi, Flora dan Fauna, hingga Tempat Wisata di Dalamnya Tempat Wisata di Taman Nasional Gunung Leuser Taman Nasional Gunung Leuser sangat cocok untuk dijadikan destinasi wisata edukasi. Selain menikmati keindahan alamnya, pengunjung juga bisa sekaligus belajar tentang keanekaragaman hayati di kawasan ini. Beberapa destinasi wisata di kawasan ini antara lain Sungai Alas Sungai ini bisa dijadikan wahana untuk arum jeram bagi para pengunjung. Aliran sungai ini cukup deras menuju Kabupaten Aceh Selatan. Di tepian sungai terdapat kawasan penduduk yang masih tradisional. Hutan Rekreasi Gurah Keindahan alam dan berbagai jenis flora, danau, air terjun, sumber air panas tersaji di hutan rekreasi ini. Pengelola juga telah menyediakan trek khusus bagi pengunjung yang tertarik melakukan trekking. Pengunjung juga dapat menikmati keindahan alam, bahkan melakukan kemah di kawasan hutan. Lau Pengurukan Lau Pengurukan sangat cocok bagi pengunjung yang suka menyusuri gua alam. Di kawasan ini, terdapat banyak gua seperti Gua Pintu Air, Gua Pintu Anfin, Guan Palonglong, Gua Patu, Gua Pasa, Gua Rizak, Gua Pamuite dan Gua Pasugi. Sumber Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

ZonaMontane (termasuk zona sub montane,terletak 1000 - 1500 mdpl). Zona montane merupakan hutan montane. Tegakan kayu tidak lagi terlalu tinggi hanya berkisar antara 10 - 20 meter. Tidak terdapat lagi jenis tumbuhan liana. Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon. Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.

? Taman Nasional Gunung Leuser TNGL berada di perbatasan Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Di Nangroe Aceh Darussalam, TNGL berada di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, dan Gayu Luwes dan di Sumatera Utara berada di Kabupaten Langkat. Taman Nasional Gunung Leuser diambil dari nama Gunung Leuser yang mempunyai ketinggian 3404 meter di atas permukaan laut. Taman Nasional yang terkenal kecantikannya ini meliputi ekosistem asli dari pantai hingga pegunungan tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis, dikelola dengan sistem zonasi yang bertujuan untuk penelitian, ilmu pendidikan, budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Gunung Leuser mempunyai 3 manfaat yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan, sebagai tempat pengawetan keanekaragaman berbagai jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan panorama alam dan ?paru-paru? dunia yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai cagar alam nasional sejak tahun 1980 dan ditetapkan sebagai warisan dunia Cagar Biosfir oleh UNESCO pada tahun 2004. Hutan Gunung Leuser sangatlah lebat, seperti hutan pantai dan hutan hujan tropika. Di dalamnya terdapat beberapa sungai, danau, sumber air panas, lembah, dan air terjun. Ekosistem di dalamnya terdapat dataran rendah pantai hingga pegunungan. Terdapat bermacam satwa langka dan dilindungi terdapat disini, seperti kucing hutan, harimau sumatera, badak sumatera, gajah sumatera, rangkong, orang utan, siamang, ular, kupu-kupu, burung, kambing hutan dan rusa sambar. Selain itu terdapat pula tumbuhan langka semacam tumbuhan pencekik atau ara dan buang raksasa ?Rhizanthes Zippelnii? yang berdiameter meter, bunga Raflesia dan daun payung raksasa. Terdapat enam lokasi utama wisata di Taman Nasional Gunung Leuser, yaitu Bojorok atau Bukit Lawang yang sangat terkenal sebagai kawasan konservasi orang utan. Kluet yang terkenal dengan wisata goanya dan wisata bersampan di danau dan sungai. Gunung Leuser juga sering digunakan untuk lokasi wisata petualangan seperti mendaki dan memanjat gunung. Sungai alas yang sering digunakan sebagai lokasi wisata olahraga arum jeram. Hutan Sekunder yang rajin dijadikan tempat perkemahan, pengatan satwa, dan wisata goa. Yang terakhir adalah Gurah, sebuah lokasi untuk menikmati panorama alam yang sangat indah dengan berbagai tumbuhan unik dan langka, sekaligus tempat pengamatan berbagai satwa yang langka dan dilindungi. Akses menuju Taman Nasional Gunung Leuser dapat melewati jalur Medan ? Kutacene yang berjarak sekitar 240 km atau 8 jam dengan mobil, Kutacene ? Guran/Ketambe yang mempunyai jarak lebih kurang 35 km atau 30 menit dengan mobil, Medan ? Bohorok/Bukit Lawang berjarak sekitar 60 km atau selama 1 jam dengan mobil, Medan ? Sei Betung/Sekundur jaraknya sekitar 150 km atau 2 jam dengan mobil, Medan ? Tapaktuan sekitar 260 km atau 10 jam perjalanan dengan mobil.
Tamannasional gunung leuser juga memiliki koleksi fauna terbanyak di kawasan Asia. Ekosistem ini merupakan rumah bagi 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan setidaknya 95 spesies reptil dan amfibi (54% dari fauna terestrial Sumatera). Hutan ini dianggap sebagai tempat terakhir di Asia Tenggara yang memiliki ukuran dan kualitas yang cukup
Rudi Putra adalah nama yang cukup dikenal dalam dunia konservasi. Kecintaannya pada hutan Leuser tidak perlu diragukan lagi. Sudah 20 tahun, lelaki ini bekerja untuk penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser, hutan seluas 2,6 juta hektar yang merupakan habitatnya badak sumatera, harimau, gajah, dan orangutan. Perjuangan Rudi menjaga hutan Leuser, termasuk merestorasi kawasan hutan yang telah berubah menjadi kebun sawit ilegal, membuatnya mendapatkan penghargaan internasional The Goldman Environmental Prize tahun 2014. Rudi bukan hanya pemimpin di Forum Konservasi Leuser, tapi juga rekan yang selalu bisa diajak berdiskusi, bahkan bercanda. Berkunjung dan bertemu dengan tim lapangan, tidak hanya dilakukannya untuk memantau pekerjaan, tetapi juga membangun keakraban. Rudi Putra adalah nama yang cukup dikenal dalam dunia konservasi. Lelaki kelahiran tahun 1977 di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh ini, telah 20 tahun bekerja untuk penyelamatan hutan dan satwa di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Hutan seluas 2,6 juta hektar yang merupakan habitatnya badak sumatera, harimau, gajah, dan orangutan. Rudi mengawali aktivitasnya di Unit Manajemen Leuser [UML], lembaga pelaksana program Leuser Development Program [LDP] yang merupakan lembaga kerja sama antara Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia. Berikutnya, ia pindah ke Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser [BPKEL] yang dibentuk Pemerintah Aceh untuk isu penyelamatan hutan Leuser. Hingga akhirnya, ia bersama rekan-rekannya mendirikan Forum Konservasi Leuser [FKL], bekerja pada isu yang sama. Di sela pekerjaannya memimpin tim perlindungan tumbuhan dan satwa, Rudi berhasil menyelesaikan magister di jurusan Konservasi Biodiversitas Tropika di Institut Pertanian Bogor. Perjuangannya menjaga hutan Leuser, termasuk merestorasi kawasan hutan yang telah berubah menjadi kebun sawit ilegal, membuatnya pada 2014 mendapatkan penghargaan internasional The Goldman Environmental Prize, bersama lima pegiat lingkungan lainnya. FKL saat ini memiliki 28 tim yang setiap hari berpatroli di KEL. Patroli dilakukan bersama Polisi Hutan dari Balai Besar Taman Nasiongal Gunung Leuser maupun dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh. Rudi bukan hanya pemimpin, tapi juga rekan yang selalu bisa diajak berdiskusi, bahkan bercanda. Berkunjung dan bertemu dengan tim lapangan, tidak hanya dilakukannya untuk memantau pekerjaan, tetapi juga membangun keakraban. Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia bersama Rudi Putra, Ketua Dewan Pembina FKL, awal Juni 2021. Baca Robohnya Sawit Ilegal di Hutan Lindung Aceh Tamiang Rudi Putra, sosok tanpa lelah menjaga hutan Leuser dari segala kerusakan. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Sejak kapan Anda bekerja pada upaya penyelamatan hutan Aceh, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser? Rudi Putra Saya mulai bekerja untuk konservasi di KEL sejak tahun 2000. Saya pertama kaki menjejak kaki di Leuser pada 1998, saat masih mahasiswa Biologi di Universitas Syiah Kuala [UNSYIAH] atas undangan Leuser Development Program atau Unit Management Leuser [UML]. Beruntung, kunjungan saya saat itu didampingi Prof. Carel van Schaik, ahli orangutan di dunia yang cukup terkenal. Dari pertemuan ini, tahun 1999 beliau memberikan saya beasiswa penelitian. Sebenarnya, saya ingin melanjutkan penelitian itu di tahun 2000, tetapi batal karena kondisi keamanan Aceh yang saat itu memanas. Bahkan, stasiun penelitian tempat kami melakukan riset dibakar orang tidak dikenal. Mongabay Di lembaga apa awal Anda bekerja? Rudi Putra Saya bekerja untuk Unit Manajemen Leuser [UML]. Ada kejadian lucu yang masih terbayang. Saat itu, saya pergi ke Medan, Sumatera Utara, untuk tujuan wawancara tahap akhir di lembaga lain. Selesai interview saya menyempatkan diri ke UML, untuk menjumpai beberapa teman yang saya kenal selama penelitian dulu. Ketika melihat kehadiran saya, seorang teman langsung berteriak dan menarik tangan saya, menuju ke sebuah ruangan. Saya dipertemukan dengan sekretaris yang menurut teman ini, telah mencoba berkali menghubungi saya. Hari itu juga, saya harus mengikuti pelatihan navigasi bersama Ecosytem Ranger, nama unit patroli satwa liar UML. Dengan senang hati saya menerima tantangan ini, walaupun tidak membawa bekal apapun. Beruntung, seorang kolega di kantor tersebut meminjamkan saya sleeping bag, jaket, tas, dan beberapa kebutuhan lainn, sehingga saya melawan cuaca dingin di lokasi pelatihan. Dari sini, saya ditugaskan sebagai supervisor. Sebuah keberuntungan bisa bekerja dengan unit ini, karena bisa bergabung dengan puluhan karakter manusia yang mendedikasikan setengah waktunya untuk mempertahankan Leuser. Mereka adalah cikal bakal patroli hutan yang saat ini dikenal sebagai Ranger. Baca Hutan Lindung yang Direstorasi Itu Jantungnya Aceh Tamiang Sudah 20 tahun, Rudi Putra menjaga Kawasan Ekosistem Leuser. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Kenapa Anda memilih bekerja pada isu penyelamatan hutan Leuser dan satwa? Rudi Putra Orang tidak akan mengenal Leuser sebelum menginjakkan kakinya di hutan luar biasa ini. Banyak tamu yang awalnya berkunjung hanya karena ditugaskan, tetapi sekembalinya mereka menjadi pencinta Leuser. Leuser adalah magic, bentang alamnya luas, satwanya sangat menakjubkan. Beberapa tempat di Leuser kami namakan Singgah Mata, memberi refreshing bagi mata dan pancaindra lainnya. Kami bisa menghabiskan waktu berjam, hanya untuk memandang hijaunya hutan dengan suara air, angin, dan satwa yang tiada henti. Bagi saya, keindahan alam dan kehidupan satwa di Leuser bukan hal paling menarik yang membuat saya untuk bekerja di sini. Fungsi Leuser sebagai bagian terpenting kehidupan masyarakat yaitu penyedia air, udara bersih, serta pencegah bencana ekologis adalah alasan utamanya. Mongabay Artinya? Rudi Putra Nilai terpenting Leuser adalah sebagai sumber penghidupan yang layak bagi jutaan penduduk Aceh dan Sumatera Utara. Leuser adalah air. Tanpa Leuser, kami akan kehilangan sumber daya air. Tidak ada kehidupan tanpa air. Leuser juga menghasilkan udara bersih yang kita hirup setiap hari. Leuser adalah paru-paru dunia. Bagaimana kita hidup tanpa oksigen? Menjaga Leuser adalah sebuah keharusan dan bentuk perbuatan amal baik kami. Baca Mereka Penjaga Hutan Aceh Tamiang Mengembalikan kembali fungsi hutan Leuser yang rusak akibat dirambah maupun ditanami sawit ilegal adalah pekerjaan berat yang dilakukan Rudi Putra bersama FKL. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Bagaimana kondisi Leuser saat ini? Rudi Putra Setiap hari di Leuser ada kabar buruk dan kabar baik. Kabar buruknya adalah deforestasi, penebangan liar, dan perburuan satwa masih terjadi. Kerusakan hutan di Leuser diperkirakan 20% dari 2,6 juta hektar. Tetapi, luas ini termasuk juga area penggunaan lain [APL] yang berada di KEL, yang sejak dulu sudah berupa kebun, permukiman, dan lainnya. Laju kerusakan ini dalam tren menurun. Dibandingkan 1990 – 2005, kerusakan saat ini jauh lebih kecil. Saat itu, ratusan truk raksasa mengangkut kayu-kayu dari Leuser menuju ke tempat pengolahan, setiap hari. Ratusan meter rakit kayu pun dihanyutkan setiap hari. Berdasarkan data Yayasan HAkA, pada 2015, kerusakan hutan di Leuser sekitar 13,690 hektar/tahun, luas ini turun menjadi 5,395 hektar pada 2019. Walaupun, HAkA mencatat kenaikan deforestasi tahun 2020 menjadi 7 ,331 hektar, yang diduga dampak COVID-19. Hal lain, kalau sebelumnya deforestasi disebabkan perusahaan besar terutama untuk sawit, saat ini bergeser menjadi perambahan-perambahan kecil dengan skala 1-5 hektar. Perburuan juga menurun drastis di lokasi-lokasi yang sudah dijaga. Satu kabar menggembirakan adalah kegiatan reforestasi yang masif, dilakukan di banyak tempat di Leuser. Ribuan hektar lahan yang dirambah, mulai dikembalikan kembali menjadi hutan melalui restorasi alam maupun pola agroforestry yang dikembangkan bersama masyarakat. Ribuan hektar lahan APL yang masih berhutan juga dapat dipertahankan. Mongabay Apa yang harus dilakukan agar Leuser tidak rusak? Rudi Putra Untuk menjaga Leuser pada dasarnya dengan meningkatkan proteksi. Tetapi aspek yang sangat penting adalah meningkatkan kesejahteraan dan pemahaman masyarakat tentang perlunya konservasi Leuser. Saatnya bukan hanya melarang tetapi juga bagaimana meningkatkan ketergantungan masyarakat untuk hutan. Banyak hasil hutan yang bisa dimanfaatkan masyaratkat seperti hasil hutan non-kayu yang bernilai tinggi. Saat ini banyak jenis-jenis tanaman komersial yang dapat ditanam di dalam hutan seperti jernang, dan lainnya. Baca juga Perjuangan Tanpa Batas Hadi S. Alikodra untuk Dunia Konservasi Indonesia Rudi Putra bersama tim FKL terus memberantas sawit ilegal yang berada di hutan lindung di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Bagaimana perkembangan restorasi yang telah FKL lakukan? Rudi Putra Restorasi di Leuser sangat menarik diamati dan menjadi lokasi termurah di dunia, sebab alam di Leuser sangat cepat mengembalikan dirinya tanpa intervensi manusia. Di Google Earth, kita bisa lihat di Leuser yang dulunya pernah di-clearing untuk areal logging atau perkebunan yang ditinggalkan, hanya dalam beberapa tahun areal itu kembali menjadi hutan dengan sendirinya. Kami meyakini, alam dapat mengembalikan dirinya sendiri tanpa intervensi manusia. Di sebuah tempat di Aceh Tamiang, kami telah menebang sawit ilegal seluas 425 hektar. Dalam waktu empat tahun, terjadi hal menakjubkan, lahan tersebut telah kembali menjadi hutan dan berbagai spesies satwa kembali mendatangi wilayah tersebut. Ini termasuk orangutan, harimau, beruang, dan lainnya. FKL sudah melakukan restorasi di lahan seluas hektar [kebun ilegal] dan sebagian besar berupa restorasi alami. Sebagian lahan ini masih berhutan, tetapi masif ditebangi sejak beberapa dekade lalu. Kami bernegosiasi dengan masyarakat untuk membebaskan lahan ini agar dialokasikan sebagai hutan yang dilindungi, di luar kawasan hutan. Di tempat-tempat lain kami menganti tanaman sawit, karet, dan coklat yang ditanami di kawasan hutan secara ilegal dengan tanaman agroforestry. Tentunya bersama masyarakat setempat setelah mendapat izin pemerintah. Sebagian kawasan ini juga dialokasikan untuk restorasi alami, tanaman ilegal dimusnahkan dan lahan dibiarkan saja, hingga bibit-bibit alami tumbuh sendirinya. Memang, pola agroforestry ini tidak bisa mengimbangi hutan alam, tapi jauh lebih baik dibandingkan kebun. Di dalam kebun, biasanya hanya 2-3 jenis tanaman, namun dengan pola ini bisa ditanami 20-30 jenis tanaman, termasuk sebagian jenis tanaman hutan. Paling penting, pola agroforestry bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Di Tenggulun, Aceh Tamiang, kegiatan ini telah menekan kegiatan ilegal hingga 90 persen. Kawasan Ekosistem Leuser tidak hanya penting bagi kehidupan 4 juta masyarakat yang hidup di sekitarnya, tetapi juga habitat utama gajah, harimau, badak, dan orangutan sumatera. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Bagaimana kondisi satwa terancam punah di Leuser? Rudi Putra Beberapa satwa memang semakin jarang terlihat seperti beberapa jenis burung [rangkong, murai, poksay, dan lainnya. Mereka sangat mudah diburu dengan senjata atau perangkap. Tetapi, sebagian besar satwa terancam punah di tempat lain kelihatan aman dan berkembang dengan baik, seperti orangutan dan harimau yang selalu kami amati perkembangannya. Mengenai gajah, ada masalah dengan populasinya karena mereka juga berada di lahan-lahan yang di klaim sebagai kebun masyarakat atau perusahaan. Akibatnya, terjadilah konflik manusia dengan gajah yang berakhir terbunuhnya satwa. Kami saat ini, membantu Pemerintah Aceh agar dapat melakukan upaya pembagian ruang antara masyarakat dengan satwa, termasuk gajah, sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Mongabay Apa ancaman terbesar kehidupan satwa di hutan Leuser? Rudi Putra Hilangnya habitat dan perburuan. Kehilangan habitat menyebabkan satwa berpindah ke tempat lain atau malah terbunuh. Ancaman terhadap satwa dapat ditekan dengan meningkatkan proteksi. Kami mengamati, di beberapa tempat yang dulunya tidak terjaga dengan baik biasanya perburuan dan kegiatan ilegal sangat tinggi. Tetapi, seiring meningkatnya patroli, angka kegiatan ini menurun drastis. Di sebuah tempat di selatan Leuser, perburuan menurun hingga 90% setelah tim patroli dan stasiun pengamatan diaktifkan. Membentuk unit monitoring kerusakan hutan yang terkoneksi dengan pemegang otoritas juga perlu dilakukan, sehingga kegiatan ilegal bisa langsung dilaporkan dan segera ditindaklanjuti. Badak sumatera yang hidupnya berpacu dengan kepunahan. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Mengenai badak Sumatera, bagaimana kondisinya di Leuser? Rudi Putra Badak di Leuser terbagi dua lokasi. Di lokasi satu, populasinya berkembang baik meskipun jumlahnya sedikit. Di lokasi dua, populasinya malah tidak berkembang sama sekali, tidak ada indikasi anak yang dilahirkan dalam beberapa tahun. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, sehingga perlu upaya penyelamatan. Mongabay Untuk badak-badak yang tidak mungkin berkembang biak secara alami, apa yang mendesak dilakukan? Rudi Putra Tindakan mendesak dilakukan adalah menangkap dan memindahkan mereka ke fasilitas breeding center yang sudah ada, maupun yang akan dibangun. Tidak ada gunanya membiarkan mereka di alam liar, sebab mereka akan punah sendirinya bila tidak ada indikasi kelahiran. Kalau pun ada breeding dengan populasi sangat kecil, juga akan menyebabkan kepunahan walaupun dalam jangka waktu lama. Kondisi ini tidak baik bagi populasi untuk jangka panjang. Rudi Putra bersama tim Ranger yang selalu berpatroli mengamankan hutan Leuser. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia Mongabay Pembangunan SRS di Aceh, bagaimana perkembangannya? Rudi Putra Saat ini masih tahap finalisasi desain dan persetujuan pemerintah untuk lokasi yang akan dibangun. Diharapkan, dalam beberapa bulan mendatang, fasilitas ini selesai dibangun dan siap dioperasikan untuk konservasi badak. Mongabay Bagaimana konsepnya? Rudi Putra Konsep SRS ini adalah bagaimana menghasilkan anak badak sebanyak-banyaknya untuk kemudian disilangkan dengan individu-individu lain dengan variasi genetik berbeda. Ketika jumlah individu sudah mencukupi, tahap selanjutnya adalah mengembalikannya ke alam. Tentunya, di tempat-tempat yang terkontrol hingga kemudian siap dirilis di habitat yang lebih luas. Banyak tempat yang dulunya ditemukan badak namun saat ini hilang, yang dapat menampung badak-badak hasil perkembangbiakan ini. Rudi Putra saat mendampingi Leonardo DiCaprio, pada 26-27 Maret 2016, di Conservation Response Unit [CRU] Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. CRU ini terletak di hutan lindung yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Foto Dok. Paul Hilton Mongabay Harapan Anda terkait lingkungan? Rudi Putra Saat ini, tuntutan menjadikan bumi kembali hijau menggema. Kebutuhan atas barang yang diproduksi secara lestari meningkat dan gerakan penggunaan energi hijau pun semakin banyak. Di banyak negara, kegiatan reforestasi pun pesat, bahkan gurun pasir sudah mulai dihijaukan. Apa artinya? Jangan sampai kita, negara yang memiliki hutan luas, justru berjalan pada arah sebaliknya. Kita, seluruh masyarakat Indonesia dan generasi muda harus peduli untuk bergerak, menjaga lingkungan. Tidak ada kata terlambat untuk menyelamatkan bumi. Artikel yang diterbitkan oleh aceh, ekosistem leuser, featured, Hidupan Liar, hutan indonesia, kerusakan lingkungan, konservasi badak, perambahan, Satwa Liar, sumatera, tokoh inspiratif

KawasanEkosistem Leuser (KEL) yang terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser dan Hutan Lindung serta Hutan Masyarakat merupakan Warisan Dunia yang telah ditetapkan oleh UNESCO Dasar Hukum Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No 811/Kpts/UM/1980 dengan luas 792.675 ha.

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu kawasan konservasi yang berada di Aceh. Kawasan dengan luas lahan hektar ini mencakup berbagai tipe ekosistem, sehingga berbagai jenis satwa dan tumbuhan yang dapat dijumpai sangat beragam. Bentangan alam di TNGL juga sangat mempesona, terlebih lagi beberapa area kawasan ini pada mulanya adalah tempat wisata. Hal tersebut menjadi nilai tambah tersendiri, sehingga sayang untuk melewatkan panorama taman nasional ini. Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser Kondisi Alam Taman Nasional Leuser 1. Letak dan Topografi 2. Iklim dan Hidrologi 3. Ekosistem dan Zonasi Flora dan Fauna Taman Nasional Leuser 1. Flora 2. Fauna Kegiatan dan Destinasi Wisata 1. Sungai Alas 2. Hutan Rekreasi Gurah 3. Hutan Sekundur 4. Suaka Margasatwa Kluet 5. Stasiun Rehabilitasi Orangutan 6. Gunung Leuser 7. Pendakian Gunung Kemiri 8. Gunung Simpali 9. Gunung Perkinson 10. Lau Pengurukan Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser Sebenarnya pengusulan pembentukan taman nasional di kawasan Aceh Barat sudah terjadi sejak lama. Diketahui bahwa pada tahun 1928 FC Van Heurn telah mengusulkan daerah Alas, Kluet, Sungai Tripa, dan seluruh tipe ekosistem seluas total hektar kepada pihak Belanda selaku pemerintah kala itu. Pada tahun 1934 A Ph Van Ahen, Gubernur Aceh, mendirikan Suaka Alam dari Gunung Leuser seluas hektar. Setelah itu kawasan konservasi di sekitarnya juga ditetapkan, yaitu Suaka Margasatwa Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Kluet, Suaka Margasatwa Langkat, dan Suaka Margasatwa Sikundur. Selanjutnya pada bulan Desember 1976 kawasan konservasi tersebut diperluas dengan menambahkan Suaka Margasatwa Kappi, Taman Wisata Sikundur, dan Taman Wisata Lawe Gurah. Tidak lama kemudian, status kawasan konservasi yang terdapat di Gunung Leuser kemudian menjadi Taman Nasional Gunung Leuser. Keputusan tersebut dikeluarkan berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian dengan menambahkan Hutan Lindung dan Hutan Produksi seluas hektar, sehingga total keseluruhan taman nasional menjadi hektar. Kondisi Alam Taman Nasional Leuser 1. Letak dan Topografi Secara geografis Taman Nasional Gunung Leuser terletak pada koordinat antara 02°55’ – 04° 05’ Lintang Utara dan 96° 30’ – 98° 35’ Bujur Timur. Sementara secara administratif kawasan ini berada di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Tanah Karo. Kelima kabupaten tersebut meliputi wilayah di dua provinsi, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Adapun kondisi topografi di taman nasional ini yaitu datar, berbukit, bergunung-gunung, sampai dengan curam. 2. Iklim dan Hidrologi Suhu udara rata-rata di Taman Nasional Gunung Leuser antara 21,1° – 27,5° Celcius dengan curah hujan berada pada kisaran – mm per tahun. Curah hujan paling tinggi berada di kawasan Leuser dan Simpali, sedangkan yang paling rendah di kawasan Lembah Alas yang hanya mm. Adapun musim penghujan berlangsung sepanjang tahun, tanpa kemarau yang berarti. Kelembaban udara di kawasan ini berada di antara 62% – 100% atau rata-rata per tahunnya 86,9%. Sungai yang mengalir di taman nasional ini yaitu Sungai Alas dan Sungai Mammas, serta anak sungai yang berada di deretan Leuser-Simpali dan juga Alas bagian barat. 3. Ekosistem dan Zonasi Beberapa tipe ekosistem yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser yaitu ekosistem mangrove atau bakau, ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, ekosistem hutan tropis pegunungan, serta ekosistem pegunungan sub-alpin. Ada delapan zona yang diterapkan oleh pihak taman nasional dalam mengelola kawasan ini. Kedelapan zona tersebut adalah zona inti, zona riba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona tradisional, zona religi, zona khusus, dan juga zona abu-abu. Flora dan Fauna Taman Nasional Leuser Ada banyak sekali ragam flora dan fauna yang dapat dijumpai di Taman Nasional Gunung Leuser. Mulai dari spesies yang familiar dan kerap ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, kelompok endemik Pulau Sumatera, sampai spesies yang tergolong langka dan hampir punah. 1. Flora Jumlah flora yang berhasil diidentifikasi di Taman Nasional Gunung Leuser lebih dari jenis tumbuhan. Flora tersebut juga bervariasi mulai dari pohon dengan buah yang dapat dikonsumsi hingga tumbuhan jenis langka. Steemit Kelompok tumbuhan dengan buah yang dapat dimakan antara lain dua spesies durian hutan Durio exyleyanus dan Durio zibethinus, rambutan hutan Nephelium lappaceum, jeruk hutan Citrus macroptera, duku Lansium domesticum, rambai Baccaurea montleyana, dan juga menteng Baccaurea racemosa. Selain itu juga ada rukem Flacourtia rukem, limus yang memiliki buah seperti mangga Mangifera foetida dan Mangifera guardrifolia. Semua spesies tersebut adalah sumber plasma nutfah yang memiliki prospek jangka panjang yang cerah untuk dikembangkan. Flora langka yang tumbuh di taman nasional yang berasal dari kawasan Gunung Leuser yaitu pohon payung raksasa Johanesteisjmania altifrons, liana dengan bunga parasit yang diameternya bisa mencapai 1,5 meter Rhizanthes zippelnii, dan juga Rafflesia atjehensis. Dapat pula dijumpai anggrek sepatu Paphiopedilum liemianum dan kantong semar Nepenthes sp.. 2. Fauna Tercatat ada lebih dari 127 jenis mamalia yang menghuni kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Sementara itu kelompok aves diketahui berjumlah 387 jenis dengan 350 spesies yang menetap. Bahkan juga diketahui ada sekitar 89 spesies satwa yang tergolongkan langka hidup di taman nasional ini. Pixabay Beberapa spesies langka tersebut adalah badak sumatera Dicerorhinus sumatrensis, orangutan atau mawas Pongo abelii, rusa sambar Cervus unicolor, kucing hutan Prionailurus bengalensis-sumatrana, dan siamang Hylobates syndactylus. Sementara itu ada pula kambing hutan Capricornis sumatraensis, rangkong Buceros bicornis, serta gajah Sumatera Eephas maximus-sumatranus dan harimau Sumatera Panthera tigris-sumatrae yang merupakan dua spesies endemik di Pulau Sumatera. Adapun satwa lain yang juga dapat dijumpai di Taman Nasional ini yaitu tupai Callosciurus albescens, kelinci Sumatera Nesolagus netscheri, ungko atau kedih Presbytis thomasi, dan tikus hoogerwerfi Rattus hoogerwerfi. Kelompok reptil yang paling banyak dijumpai di kawasan ini adalah spesies buaya Crocodillus sp. dan juga ular berbiasa. Adapula jenis ikan endemik yang hidup di Sungai Alas yaitu ikan jurung Tor sp., ikan ini memiliki ukuran panjang yang bisa mencapai 1 meter. Kegiatan dan Destinasi Wisata Ada banyak sekali obyek wisata yang dapat dikunjungi di Taman Nasional Gunung Leuser. Oleh sebab itu berbagai kegiatan pun dapat dilakukan dengan lebih menyenangkan di kawasan ini. Mulai dari kegiatan yang sederhana seperti pengamatan satwa, sampai yang cukup ekstrem seperti arung jeram dan mendaki gunung. 1. Sungai Alas Salah satu sungai yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser adalah Sungai Alas. Sungai ini biasanya digunakan oleh para pengunjung untuk melakukan olahraga arung jeram. Sambil berarung jeram menyusuri aliran air deras dan ganas yang menuju Kabupaten Aceh Selatan, pengunjung juga dapat menikmati pesona dari hutan tropis serta pemukiman tradisional masyarakat di tepian sungai. 2. Hutan Rekreasi Gurah Hutan Rekreasi Gurah atau juga biasa disebut sebagai Taman Wisata Lawe Gurah merupakan salah satu lokasi yang menarik untuk dikunjungi di taman nasional ini. Panorama yang dimiliki hutan ini sangat mempesona dengan berbagai jenis flora, danau, air terjun, lokasi pengamatan satwa, dan juga sumber mata air panas. Pihak pengelola wisata juga telah menyediakan trek khusus untuk pengunjung yang ingin trekking. Trekking dimulai di Gurah, kemudian berlanjut sampai ke sumber mata air panas yang berada di dekat Sungai Alas. Waktu yang dibutuhkan biasanya sekitar dua jam dengan jarak sejauh 5 km. Ada juga menara pandang yang dapat digunakan pengunjung mengamati kehidupan yang ada di hutan hujan Leuser. Selain itu jika pengunjung ingin menikmati sensasi hidup menyatu dengan alam, maka dapat berkunjung ke area perkemahan yang berlokasi di kawasan hutan atau dapat menginap di guest home. 3. Hutan Sekundur Selain Hutan Rekreasi Guruh, ada juga Hukan Sekundur yang berada di Sekundur, Langkat, Sumatera Utara. Kawasan seluas hektar ini memiliki gua alam serta panorama yang masih begitu alami. Apabila datang di waktu yang tepat, pengunjung dapat berjumpa dengan berbagai spesies satwa liar seperti gajah dan rusa. Selain itu, pengunjung bisa camping juga di kawasan sini. 4. Suaka Margasatwa Kluet Suaka Margasatwa Kluet merupakan kawasan yang didominasi oleh ekosistem hutan pantai seluas hektar. Oleh sebab itu kegiatan yang cocok dilakukan di sini adalah bersampan di sungai dan danau, menikmati panorama alam di pantai, serta menjelajahi gua alam. Meskipun begitu sebagai habitat harimau Sumatera, pengunjung dihimbau untuk berhati-hati. 5. Stasiun Rehabilitasi Orangutan Pusat rehabilitasi satwa langka orangutan ini memiliki luas sekitar 200 hektar dan berlokasi di antara Bahorok dan Bukit Lawang, Langkat, Sumatera Utara. Menariknya tidak hanya orangutan yang bisa dijumpai di sini, melainkan juga berbagai spesies dan kelompok primata lainnya 6. Gunung Leuser Gunung Leuser merupakan puncak gunung tertinggi yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, nama kawasan taman nasional juga diambil dari gunung ini. Ketinggiannya mencapai meter di atas permukaan laut. Mongabay Sebagai gunung tertinggi, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncaknya adalah sekitar 14 hari. Meskipun begitu pengunjung harus memastikan fisik dan mental sudah kuat karena perjalanannya cukup berat. Pendakian dimulai dari Desa Angusan yang berada di bagian sebelah barat Blangkejeren. 7. Pendakian Gunung Kemiri Gunung Kemiri adalah puncak gunung tertinggi kedua yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser. Ketinggian gunung ini mencapai meter di atas permukaan laut. Pengunjung yang menyukai petualangan alam dapat mendaki puncak gunung ini dengan waktu sekitar lima sampai enam hari. Sepanjang perjalanan pengunjung akan menjumpai berbagai satwa seperti siamang, gibon, dan juga orangutan. 8. Gunung Simpali Puncak gunung lain yang dapat didaki ini berada pada ketinggian meter di atas permukaan laut. Lama waktu yang dibutuhkan untuk mendaki Gunung Simpali sekitar satu pekan dengan titik awal berada di Desa Engkran, lalu menyusuri Lembah Lawe Mamas. Lembah ini menjadi lokasi habitat dari salah satu hewan langka yaitu badak. Terdapat pula Sungai Lawe Mamas yang mempunyai arus sangat deras, sehingga menjadi tantangan sendiri bagi para pengunjung. Sungai ini bersatu dengan Sungai Alas yang berlokasi sekitar 15 km di bagian utara Kuracane. 9. Gunung Perkinson Salah satu keberuntungan bagi pengunjung yang mendaki ke puncak Gunung Perkinson adalah salah satu titik perjalanan akan dijumpai bunga unik dan langka, Rafflesia. Bunga ini tumbuh di kawasan yang berada pada ketinggian sekitar meter di atas permukaan laut serta hutan lumut yang mempesona. Lama waktu tempuh untuk mendaki puncak gunung setinggi meter di atas permukaan laut adalah sekitar tujuh hari. 10. Lau Pengurukan Lau Pengurukan adalah surga bagi pengunjung yang tertarik menjelajahi gua alam. Pasalnya di kawasan ini ada banyak sekali gua seperti Gua Pintu Air. Gua Pintu Angin yang merupakan gua terpanjang dengan lorong sejauh 600 meter berlubang vertikal. Ada pula Gua Palonglong yang juga mempunyai lubang vertikal, Gua Patu, Gua Pasar, Gua Rizal, Gua Pamuite, dan Gua Pasugi. Cara untuk mencapai lokasi ini jika tidak membawa kendaraan pribadi yaitu dimulai dari kota Medan dengan menumpangi bus jurusan Bukit Lawang. Setelah itu pengunjung dapat menyewa mobil yang biasanya berjenis Jeep Land Rover. Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Dusun Tanjung Naman sekitar satu jam. Setelah itu barulah berjalan kaki menuju Lau Pengurukan kurang lebih dua jam.
SHARENOW. Berwisata memandikan gajah menjadi daya tarik wisatawan saat menikmati pesona keindahan Ekowisata Tangkahan yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera utara. Suasana Hutan Leuser dengan pemandangan alam yang dipenuhi pepohonan rimbun yang berada di Desa Tangkahan menjadi area perlintasan para gajah jika
Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satau kawasan perlindungan flora dan fauna terbesar di Asia Tenggara. Diperkirakan terdapat jenis flora di taman nasional ini. Tumbuhan langka yang terdapat di dalam kawasan taman nasioanl antara lain dari jenis Rafflesia, yaitu Rafflesia acehensis dan Rafflesia zippelni. Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser TNGL meliputi hutan rawa di pantai barat Aceh hingga ke kawasan hutan lebat tropis yang berada di dataran rendah bagian tengah. Masyarakat dunia menyebut Taman Nasional Gunung Leuser sebagai salah satu paru-paru dunia. Di dalam kawasan taman nasional hidup empat jenis hewan yang paling langka di dunia, yaitu harimau, badak, gajah, dan orang utan. Dengan ketinggian lebih dari mdpl menyebabkan hutan di kawasan taman nasional ini kaya akan berbagai spesies Anggrek. 1. Letak dan Luas Taman Nasional Gunung Leuser Taman Nasional Gunung Leuser secara geografis terletak antara 2° 55’ – 4° 5’ Lintang Utara dan 96° 30’ – 98° 35’ Bujur Timur. Kawasan ini terletak di pulau Sumatera dan mencakup dua provinsi, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Taman nasional ini pula termasuk ke dalam 5 wilayah administratif, yaitu Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Tanah Karo. Taman nasional Gunung Leuser memiliki luas sebesar hektare dengan batas kawasan sepanjang sekitar 850 km. Sebagian besar wilayah taman nasional ini berada di Pegunungan Bukit Barisan Aceh Tenggara dan sebagian yang lainnya berada di Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Langkat. Taman nasional ini membentang lebih dari 100 km sepanjang Pegunungan Bukit Barisan dari pantai barat Sumatera di ujung barat daya hingga kurang dari 25 km pantai timur di ujung timur laut. Taman Nasional Gunung Leuser mencakup Suaka Margasatwa Gunung Leuser ha, Suaka Margasatwa Kappi ha, Suaka Margasatwa Kluet ha, Suaka Margasatwa Sikundur ha, Suaka Margasatwa Langjat Selatan ha, Taman Wisata Lawe Gurah ha, Taman Wisata Sikundur ha, serta Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas ha. [read more] 2. Iklim dan Topografi Suhu udara rata-rata di kawasan taman nasional ini minimum adalah °C dan maksimum °C. Musim hujan berlangsung merata sepanjang tahun tanpa musim kering yang nyata. Curah hujan tertinggi tercatat mm di sekitar barisan Leuser-Simpali dan Sibolangit, dan menjadi lebih rendah ke arah pantai mm. Curah hujan terendah tercatat di daerah Lembah Alas yaitu sebesar mm. Tingkat curah hujan di kawasan ini bervariasi dan bergantung pada ketinggian, secara umum curah hujan berkisar antara mm/tahun. Antara bulan Maret-April dan September-Oktober merupakan bulan dengan curah hujan tertinggi yang tercatat selama dua periode di pantai barat. Taman nasional ini memiliki kelembaban udara rata-rata sekitar 86,9%. Kelembapan udara di sini berkisar antara 62% sampai mendekati 100%. Secara fisik kawasan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu belahan timur dan belahan barat dengan dibatasi oleh celah yang dekat dengan Kutacane. Kawasan ini, terutama di bagian tengah dialiri oleh Sungai Alas dan Mammas dengan anak-anak sungai dari barisan Leuser-Simpali dan Alas sebelah barat. 3. Sejarah Kawasan Secara berurutan berikut adalah sejarah kejadian yang berkaitan dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Waktu Deskripsi Kejadian Sejarah 9 Mei 1928 FC Van Heurn mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar membentuk semacam taman nasional di daerah Aceh Barat. Kawasan yang diusulkan seluas ha, meliputi seluruh dataran antara Alas, Kluet, dan Sungai Tripa, serta mencakup seluruh tipe ekosistem dari pantai hingga pegunungan. Tahun 1934 Saat A Ph Van Ahen yang telah menjadi Gubernur Aceh kemudian mendirikan Suaka Alam bagian pertama dari Gunung Leuser sebagai Wildceservaat Goenoeng Leoser dengan luas ha. Tahun 1934-1938 Ditetapkan beberapa kawasan konservasi di wilayah tersebut, yaitu Suaka Margasatwa Gunung Leuser dengan luas ha SK No. 317/35, Suaka Margasatwa Kluet dengan luas ha SK ZB No. 122/AGR, Suaka Margasatwa Langkat, dan Suaka Margasatwa Sikundur. Desember 1976 Kawasan konservasi di wilayah tersebut diperluas dengan ditambahkannya Suaka Margasatwa Kappi dengan luas ha Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 697/Kpts/Um/12/1976, Taman Wisata Sikundur, dan Taman Wisata Lawe Gurah. 6 Maret 1980 Berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1980 dideklarasikan bahwa semua kawasan konservasi yang berada di wilayah Gunung Leuser digabung dengan kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi seluas ha menjadi Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas sekitar ha. Selain itu, diumumkan juga empat Taman Nasional lain di Indonesia yang merupakan taman nasional pertama di Indonesia. Tahun 1981 Kawasan taman nasional ini dinyatakan sebagai Cagar Biosfer oleh UNESCO setelah sebelumnya ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia World Heritage Site dan sebagai Sister Parks kerja sama Indonesia-Malaysia. 23 Mei 1997 Dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-VI/1997 untuk mengukuhkan penetapan status kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas ha. 4. Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser menyimpan potensi kekayaan sumber daya hutan yang sangat melimpah. Hal ini dibuktikan dengan melimpahnya keanekaragaman hayati di kawasan ini. Lengkapnya biodiversitas di taman nasional ini juga disebabkan oleh lengkapnya jenis ekosistem yang ada. Keanekaragaman Ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser Jenis ekosistem yang ada di taman nasional ini di antaranya adalah ekosistem mangrove bakau, hutan hujan tropis dataran rendah, hutan tropis pegunungan hingga ekosistem pegunungan subalpin. Sebagian besar kawasan hutan didominasi oleh jenis-jenis dari suku Dipterocarpaceae, seperti meranti, keruing, dan kapur. Salah satu jenis yang menonjol adalah kapur Dryobalanops aromatica. Ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang didominasi oleh pohon Dipterocarpaceae menutupi sekitar 12% kawasan dan hutan hujan submontana menutupi sekitar 48% kawasan yang terletak antara 600 hingga mdpl. Hutan hujan submontana ditandai dengan tajuk yang lebih rendah dengan tonjolan tertinggi kurang dari 30 m. Tumbuhan yang tumbuh di ekosistem ini di antaranya adalah Pirola sumatrana, Swerina bimaculatus, Valeriana, Ranunculus, Aenemona, dan Gentiana. Pada ketinggian lebih dari mdpl terdapat hutan lumut sejati yang dasar hutan dan pohon-pohonnya tertutupi oleh lumut. Vegetasi rawa di Taman Nasional Gunung Leuser ditemukan pada lembah-lembah yang basah di sekitar ketinggian mdpl. Vegetasinya ditandai oleh rumput-rumput rendah dan ilalang Carex sp., diselingi terna dan semak belukar yang kerdil seperti Rhododendron sp., Vaccinium sp., Parnassia sp., dan Gentiana sp.. Keanekaragaman Flora Terdapat lebih dari jenis tumbuhan, juga pohon buah yang dapat dimakan, antara lain durian hutan Durio exyleyanus dan Durio zibethinus, jeruk hutan Citrus macroptera, rambai/semacam buah menteng Baccaurea montleyana, menteng Baccaurea racemosa, duku Lansium domesticum, rukem Flacourtia rukem, rambutan hutan Nephelium lappaceum, limus/semacam mangga Mangifera foetida dan Mangifera guardrifolia. Jenis-jenis tersebut merupakan sumber plasma nutfah dan mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan. Terdapat tiga jenis tumbuhan langka yang terkenal dan khas dari kawasan Gunung Leuser, yaitu Johanesteisjmania altifrons pohon payung raksasa, Rafflesia atjehensis dan Rhizanthes zippelnii liana berbunga parasit dengan diameter hingga m, selain tiga tumbuhan di atas juga terdapat Anggrek Sepatu Paphiopedilum liemianum, dan Kantong Semar Nepenthes sp.. Keanekaragaman Fauna Terdapat sekitar 387 jenis burung 350 jenis merupakan jenis yang menetap, lebih dari 127 jenis mamalia, 15 jenis tikus, 13 jenis kelelawar, dan 17 jenis bajing. Sedikitnya tercatat 89 jenis satwa langka di taman nasional ini. Satwa langka yang terdapat di Taman Nasional Gunung Leuser TNGL di antaranya adalah Mawas/Orang Utan Pongo abelii Siamang Hylobates syndactylus Gajah Sumatera Eephas maximus sumatranus Badak Sumatera Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae Kambing Hutan Capricornis sumatraensis Rangkong Buceros bicornis Rusa Sambar Cervus unicolor Kucing Hutan Prionailurus bengalensis sumatrana Di antara jenis-jenis tersebut yang termasuk ke dalam satwa endemik adalah badak sumatera, harimau dan gajah sumatera. Selain itu, berikut adalah satwa endemik yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser Kambing Gunung Sumatera Capricornis sumatraensis Tupai Callosciurus albescens Kelinci Sumatera Nesolagus netscheri Ungko/Kedih Presbytis thomasi Tikus Hoogerwerfi Rattus hoogerwerfi 5. Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan ini secara budaya termasuk ke dalam lingkup budaya Aceh Selatan yang lebih dipengaruhi oleh budaya Minangkabau. Penduduk asli daerah ini terdiri atas dua kelompok etnik yang berbeda, yaitu Suku Alas dan Suku Gayo. Di bagian Utara Lembah Alas dan gunung-gunung sebelah utara penduduknya kebanyakan termasuk ke dalam Suku Gayo. Suku Alas secara tradisional menghuni wilayah bagian selatan, khususnya Lembah Alas utama. Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi migrasi, sehingga suku-suku lain pun terdapat di sekitar kawasan taman nasional ini. Masyarakat yang bermigrasi ini biasanya dari Suku Batak Karo, masyarakat Mandailing, Singkil, dan Jawa. Perkampungan yang besar terdapat di Lembah Alas yang tidak lain adalah pasar Kutacane. Sejumlah daerah kantong enclave terdapat di sebelah utara kawasan sepanjang Kutacane sampai Jalan Blangkejeren. Blangkejeren dan Langkat merupakan daerah penyangga yang terletak tepat di luar perbatasan sebelah utara taman nasional. Keragaman pemanfaatan lahan di daerah penyangga cukup tinggi. Dari segi parameter tekanan penduduk, kondisi lahan daerah penyangga cukup kritis. Kerusakan hutan di taman nasional ini disebabkan oleh adanya kegiatan-kegiatan seperti kilang papan pembuatan jalan yang melewati kawasan taman nasional perambahan lahan tekanan penduduk tekanan sosial ekonomi tekanan pembangunan kurangnya pengertian dan kesadaran 6. Wisata Alam di Taman Nasional Gunung Leuser Sungai Alas Di dalam taman nasional terdapat Sungai Alas yang banyak digunakan wisatawan untuk berolahraga arung jeram. Anda penggemar olahraga arung jeram? Anda dapat mencoba keganasan Sungai Alas yang mengalir menuju Kabupaten Aceh Selatan sambil menikmati panorama keindahan alam hutan tropis Aceh dan perkampungan rakyat tradisional. Hutan Rekreasi Gurah Hutan Rekreasi Gurah atau Taman Wisata Lawe Gurah memiliki lokasi yang menarik, selain panorama alamnya yang indah. Di sini terdapat sumber mata air panas, danau, air terjun, pengamatan satwa dan tumbuh-tumbuhan. Pengelola hutan wisata ini membangun jalur jalan untuk pengunjung yang menyukai trekking dan juga menara pandang agar wisatawan dapat mengamati kehidupan hutan hujan Leuser. Kawasan trekking di hutan wisata ini dimulai dari Gurah hingga ke sumber mata air panas di dekat Sungai Alas dengan waktu tempuh selama dua jam dan jarak tempuh sekitar 5 km atau ke kawasan air terjun pada jarak sekitar 6 km. Pengunjung juga dapat bermalam di perkemahan yang berada di kawasan hutan wisata ini. Penginapan guest home terdapat di Gurah dan Balailutu. Hutan Wisata Sekundur Hutan wisata ini memiliki luas ha dan terletak di Sekundur, Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Destinasi wisata alam yang bisa kita coba di antaranya gua-gua alam dan panorama alam yang masih sangat alami. Selian itu, kita juga dapat bertemu dengan berbagai satwa liar, seperti gajah, rusa, dan burung-burung khas TNGL. Daerah ini juga merupakan camping ground yang sangat baik sehingga kita dapat melakukan aktivitas nuansa alam di sini. Suaka Margasatwa Kluet Suaka margasatwa ini memiliki luas sekitar ha dan terletak di Aceh Selatan, Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Ekosistem di suaka margasatwa ini dominan adalah ekosistem hutan pantai. Kegiatan yang dapat dilakukan di sini di antaranya adalah bersampan di sungai atau danau, melihat panorama hutan pantai, dan menjelajah gua alam. Namun, di daerah sini kita harus lebih berhati-hati karena di sini merupakan habitat dari Harimau Sumatera. Stasiun Rehabilitasi Orangutan Bahorok Stasiun rehabilitasi Orangutan Bahorok memiliki luas 200 ha dan terletak di Bahorok-Bukit Lawang, Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Selain Orangutan, di sini juga terdapat berbagai jenis burung dan primata lainnya. Lokasi ini berjarak sekitar 96 km atau sekitar 2,5 jam perjalanan dengan menggunakan transportasi umum dari Terminal Pinang Baris, Medan. Gunung Kemiri Gunung dengan ketinggian mdpl ini memiliki puncak tertinggi kedua di Taman Nasional Gunung Leuser. Perjalanan ke puncaknya memerlukan waktu lima hingga enam hari. Selama trekking di jalur ini Anda dapat menyaksikan hewan-hewan seperti orang utan, siamang, dan gibon. Gunung Leuser Gunung Leuser adalah gunung yang ketinggiannya mencapai mdpl yang berada di kawasan taman nasional. Jika memiliki stamina prima mungkin anda dapat mendaki hingga ke puncaknya dengan waktu perjalanan 14 hari. Trekking ke puncak Leuser di mulai dari Desa Angusan, sebelah barat Blangkejeren. Gunung Perkinson Gunung Perkinson berada di sisi timur taman nasional dan trekking hingga ke puncak gunung setinggi mdpl ini membutuhkan waktu 7 hari. Dalam perjalanan ke puncak dapat menemui bunga Rafflesia pada ketinggian mdpl dan juga hutan lumut. Gunung Simpali Gunung Simpali memiliki ketinggian mdpl dan perjalan hingga ke puncaknya memerlukan waktu satu minggu, di mulai dari Desa Engkran kemudian menyusuri lembah Lawe Mamas. Di kawasan ini hidup hewan langka badak. Sungai Lawe Mamas merupakan sungai berarus deras yang menyatu dengan Sungai Alas, sekitar 15 km di utara Kutacane. Lau Pengurukan Di destinasi wisata alam Lau Pengurukan kita dapat melihat dan menjelajahi gua-gua alam, seperti Gua Pintu Air, Gua Pintu Angin, Gua Patu, Gua Rizal, Gua Palonglong, Gua Pamuite, Gua Pasar, dan Gua Pasugi. Gua Pintu Angin merupakan gua terpanjang yang memiliki lorong hingga 600 meter. Gua Pintu Angin dan Gua Palonglong merupakan gua dengan lubang yang vertikal. Lau Pengurukan dapat dicapai dari Medan dengan menggunakan bus jurusan Bukit Lawang, dilanjutkan dengan menggunakan mobil sewaan jenis Jeep Land Rover menuju Dusun Tanjung Naman selama satu jam, kemudian berjalan kaki selama dua jam menuju Lau Pengurukan. 7. Akses Taman Nasional Gunung Leuser memiliki beberapa pintu masuk, yaitu Lawu gurah dan Ketambe, Bahorok-Bukit Lawang dan Sikundur-Besitang. Akses yang dapat dicapai dengan mudah adalah melewati Medan. Rute menuju Taman Nasional Gunung Leuser dapat melalui Medan-Kutacane-Lawu Gurah Jalur ini berjarak sekitar kurang lebih 275 km dan ditempuh dengan kendaraan umum bus atau taksi selama 6-7 jam. Frekuensi kendaraan umum dari Medan Terminal Bus Pinang Baris ke Kutacane sekitar 15 kali/hari dan Kutacane ke Lawe Gurah/Ketambe dengan menggunakan bus frekuensinya 2 kali/hari. Lawe Gurah adalah Taman Wisata yang berjarak 43 km dari Kutacane. Di Kutacane sendiri terdapat stasiun penelitian lapangan Orangutan. Medan-Bahorok/Bukit Lawang Medan-Bahorok/Bukit Lawang berjarak kurang lebih 91 km dan ditempuh dengan kendaraan umum selama kurang lebih jam. Di Bahorok terdapat tempat stasiun rehabilitasi Orangutan. Referensi Informasi Pariwisata Nusantara Visit Indonesia Supriatna J. 2014. Berwisata Alam di Taman Nasional. Jakarta ID Yayasan Obor Indonesia [/read]
Permasalahanyang timbul adalah berdasarkan larvanya, spesies kupu-kupu apa sajakah yang terdapat di hutan Evergreen TN. Baluran, berapa indeks keanekaragaman jenis dan hostplant apakah yang paling disukai oleh kupu-kupu tersebut? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis kupu-kupu di hutan Evergreen TN.
Stretching into the northern province of Aceh on Sumatra, Gunung Leuser National Park is home to Sumatran orangutans one of the two endemic species to this island, Thomas-leaf monkeys endemic to the Leuser rainforests, bands of macaques, hornbills, sun bears, unique butterflies and the last remaining populations of Sumatran elephants, tigers and rhinos. This rainforest is a treasure of biodiversity, impenetrable and covered by a dense tree canopy, but under threat from oil palm plantations, illegal logging, population pressure and wildlife poaching. On one side of the park the busy tourist season brings in more visitors than is probably sustainable, while on the other it brings barely enough for it to be a real alternative to other lucrative activities. As is the case in most parts of Indonesia, the choices we make as visitors here represent the difference between tourism as a harmful activity, and tourism as a catalyst for improved livelihoods of locals and for preservation of biodiversity. SEE OUR PHOTO STORY FROM GUNUNG LEUSER NATIONAL PARK FOR MORE INSPIRATIONGETTING THERE The main gateway community to the park is the charming village of Bukit Lawang in the North Sumatra province. Heading into the Aceh autonomous province, the best option for accessing the park is from the small village of Ketambe. In both cases the closest major airport and city is Medan. If you’re flying from Jakarta there will be plenty of direct flights from which to choose that can get you to Medan. Indonesian airlines don’t have the greatest reputation for safety, but luckily we didn’t experience any negative events. From Medan there are cheaper public transportation options to Bukit Lawang, but some say it’s a bit of a hustle and not really suitable for late arrivals. Guesthouses and hotels in Bukit Lawang can also arrange private transportation to the village that includes airport pick-up. This option should be around US $40-$50 per ride in 2018, and if it suits your budget we would definitely recommend it. It takes several hours to reach Bukit Lawang from the airport in Medan, not because the distance itself is very long, but due to traffic and road conditions. We arranged our transportation through the guesthouse, Sam’s Bungalow. Once in the village someone from your accommodation will likely wait for you to take you to where you’ll stay, as the side of the village where most of the tourist accommodation is located can only be reached by foot. From Bukit Lawang we had to make our way to Ketambe, in Aceh, and opted for a shared ride which was also arranged through Sam’s Bungalow. This is a long trip, which takes up to 9 hours, so it will not be a comfortable, easy day and the traffic will seem chaotic and aggressive. The public transportation alternative will take longer in minibuses that won’t be much more comfortable than a crammed car, but they will be cheaper. Reaching Ketambe on public transport from Bukit Lawang could take two days. Going back to the Medan airport from Ketambe we arranged for a private ride which cost us around US $60 and lasted about six hours. GATEWAY TOWNS/WHERE TO STAY This map will come in extremely handy and it takes some time surfing the web for it. It’s the best we could find and includes the range of activities available at each gateway community. Bukit Lawang is the most famous tourist village with lots of accommodation options, giving you access to the east side of the national park. It became so famous because it was the location of the Bohorok Orangutan Rehabilitation Center which functioned as a rescue and rehabilitation facility from the late 70s up until the early 2000s. They have successfully reintroduced several dozens of orangutans into the rainforest close to Bukit Lawang, which is why trekking here almost guarantees orangutan sightings these sightings come at a cost though; continue reading below about the issues in Bukit Lawang. In the past the orangutans used to return to a feeding platform daily, which would help supply them with extra nutrients and help the staff monitor the state of the newly released apes. Visitors were allowed to come at the feeding platform and watch the orangutans assemble in the morning and afternoon, but this activity has stopped in 2016. Although the platform was shut down, a lot of the older orangutans that were part of the rehabilitation center’s program are still used to human presence and associate it with food. We arrived in Bukit Lawang in mid-April, outside of the fruit season. When the trees have fruits wildlife is easier to see, but visiting outside this season meant smaller crowds on the trails around Bukit Lawang. We stayed at Sam’s Bungalow, which also has an excellent restaurant suitable for any meal of the day. Sam’s family and all his staff and guides are either from Bukit Lawang or from the surrounding villages. He and his guesthouse manager helped us book everything we needed and connected us with one of the most respected guides in Bukit Lawang, Wanda. Wanda is related to Sam and has in the meantime opened his own guesthouse just outside Bukit Lawang. Another gateway community on the east side of the park is Tangkahan, at the meeting point of the Buluh and Batang rivers. This is where a lot of the oil palm plantations have taken over the natural habitat and have set fires that destroyed the forests. Amid the destruction there is still secondary forest here with mix dipterocarp vegetation, where orangutans, elephants, and sometimes even tigers can be spotted along the rivers. The main attraction in Tangkahan is a patrol of tame elephants used by the park’s rangers to mitigate human-wildlife conflict to patrol the rainforest, but nowadays they seem to be there mostly as a tourist attraction. Visitors can ride the elephants and meet the rangers in Tangkahan, but as far as we could figure many guides in Bukit Lawang seem to think that this activity is in a grey area of ethics and sustainability. As a result, we avoided the experience because we couldn’t find anyone to confirm that it’s beneficial to conservation. In general, elephant rides at any destination hardly go well with the idea of ethics and humane treatment. In Aceh, in the central part of the national park, your best option for a gateway community is the small village of Ketambe, a low key destination on the Alas river, where the Ketambe Research Station is located. This station, unlike the one in Bukit Lawang, was dedicated specifically to research and remains closed to tourists. In Ketambe we arranged accommodation at the Thousand Hills guesthouse owned by Joseph, who speaks English very well. Everyone working there was very friendly, and they had some excellent nature books and good food. The village of Ketambe is very small and doesn’t have a lot of alternatives for eating out or for buying supplies. We arranged our trips into the national park through the guesthouse, which has started working with most guides in Ketambe that have a good reputation. Further north and much more off-the-beaten path lies Kedah, a village that has started to enter the radars of adventure travelers that want to go deeper into the national park or climb Mount Leuser, hiking through the pine forests. It is located nearby Blangkejeren where there is a small office of the national park. By car it takes at least another four hours to reach from Ketambe. We have no experience regarding the west side of the national park, but it seems like the only gateway settlement is the Ujang Padang Village from where an 8-hour ride by boat would get you to the Laot Bangko Lake where there are no tourist developments. However, it’s really hard to find proper information regarding this destination. The west side closer to the ocean is also at a higher risk of destruction caused by oil palm plantations. ABOUT THE PARK & WHEN TO GO There are so many iconic species to see in this national park that you could spend a lifetime returning to see them all, provided that their habitats will survive the expansion of oil palm plantations, poaching, road construction and illegal logging. The last years have seen an improvement in protections, but there is still much to do. The good part is that, given the chance, the rainforest returns quickly and the original vegetation takes over previously cleared lands. Gunung Leuser is named after one of the mountains which rises prominently in the northwest of the national park, and is a protected area roughly shaped like two lungs spreading over 1 million ha million acres of rainforest, pine forest and alpine habitat, lowland dipterocarp forest, peatlands and mangroves. It was designated a national park in 1980, one of the first five in the country. The park, together with two other national parks is also a UNESCO World Heritage Site, known as the Tropical Rainforest Heritage of Sumatra. And since the mid-2000s, responding to local and international efforts by various NGOs, local governments have agreed to recognize and strive to protect an area more than double the size of Gunung Leuser National Park, known as the Leuser Ecosystem. There are almost 4,000 species of plants residing in what is Southeast Asia’s largest expanse of rainforest, with giant rafflesia flowers, impressive strangler figs, ancient banyans and other dipterocarp tree species with massive buttress roots, towering above the canopy at 60 m 200 ft high, and connected by thick, twisted lianas. The thick vegetation of the rainforest and the many emergent tree species that rise above the canopy do a tremendous job of hiding wildlife. Spotting any of the 380 species of birds, 194 reptiles and amphibians or the almost 130 species of mammals that live in the park will be a hard-won victory. This is especially true if you’re visiting outside the fruit season, when strangler figs and other fruiting plants have already finished sharing their bounty. Coming here during the fruit season, roughly November to February and usually peaking in December-January, will offer better chances of catching a glimpse of the stunning hornbills, wild Sumatran orangutans and maybe some elusive siamangs. This is also when the wet season is in full swing, so heavy rains will be part of the daily experience and should last until March. However, when we arrived in mid-April we still experienced a good amount of rain. For a more insightful look into the ecology of the national park, you can check this online guide from the Orangutan Information Centre. VISITING THE PARK The trails in the Gunung Leuser National Park are unmarked and intricate — a maze difficult to solve — with steep and slippery ups and downs, which is why venturing long distances without a guide is not advised and against the park’s policies. There is an entrance fee around US $20 which can be paid as part of the price of the guided trip. There are several types of trips from every gateway into the park, with many one day options, 2D1N, 3D2N and even longer. There is the possibility to go on a weeklong trek on an off-the-beaten-path trail which connects Bukit Lawang to Ketambe, a wilder experience with higher chances of spotting the more elusive species that stay away from human settlements. Guides will provide all the sleeping and food arrangements. Wild camping on your own is against park policy. Prices for guided trips vary they aren’t dirt cheap but not expensive either and start at around US $40 pp for a day trip. Cheap services in sensitive conservation areas like Gunung Leuser can be the reason why those areas become endangered from excessive tourism when we visited in the low tourism season we did not witness such prevalent destructive behaviors as described in this article, but did see some illegal practices from a few guides and tourists. Although Gunung Leuser is home to so many species that are considered “iconic”, like Sumatran orangutans, tigers, rhinos and elephants, you have to bear in mind that most of them shy away from human presence, have plenty of space to hide and survive today in very small numbers. Most of them are only seen by camera-traps. Orangutans, however, are not a rare sight, especially in Bukit Lawang. Visiting the park from here can almost guarantee a sighting, and that can be a problem. Most of the orangutans seen around Bukit Lawang were part of a rescue and reintroduction program at the center across the Bohorok river. Since 1978 they’ve been recovered by authorities from the pet trade, from forests cleared for other developments, and in general from difficult situations. They were prepared for a long time to be released into the forest and take on to a semi-wild existence. For decades they were fed twice a day on a platform at the center, where visitors could come and watch. This practice has stopped in the past few years due to controversial practices, but many guides will use to their advantage the orangutans’ habituation with the idea of humans giving them food in order to get their clients up close to the animals. That’s why you should say up front when you’re looking to book a tour with a guide that you specifically don’t want them to feed or interfere with wildlife. Wanda, our guide, is one of the oldest in the national park and frowns upon these practices. Many of the orangutans you will see around Bukit Lawang won’t behave fully wild — they may approach you and sometimes walk around at ground level, but the encounter with them is still a moving one. You’ll share the trails with more people than in Ketambe and certainly than in Kedah, but it’s still a good introduction to the national park if done with the right guide and with the right intentions. These orangutans are mostly survivors of traumatic experiences, and one female in particular, Mina pronounced Meenah, has a bad reputation of behaving unexpectedly and attacking guides if they refuse to give her food. According to Wanda, however, Mina has been an excellent mother in the wild and has successfully raised several offspring. On the less visited side of the park, in Ketambe, the trails get even harder to follow and the leeches are much more determined to hitch a ride in your socks, shirt or on the neck. This is a place where the eyes of your guide will make a difference, because wild orangutans aren’t as keen to show themselves to human visitors, and they keep to their nests up in the canopy. Hiking or backpacking from Ketambe is a wonderful experience despite the mud and leeches and the only minus are the campsites, where garbage and plastic pollution by the river are a common sight. Once again, given that the rangers’ presence and the infrastructure are limited, it all depends on the visitors and the guides they choose, in order to leave behind the places better than when they found them. We hiked for a few days with Said pictured, the guide recommended by Joseph at the Thousand Hills guesthouse, and it was an excellent experience. He is from Ketambe, proud to be a guide in Gunung Leuser National Park, and with a desire to contribute to its betterment. He spoke up to younger guides that weren’t collecting their garbage and packed out what we collected around the campsite from others. With plenty of temptation to make quick money from helping collectors to poach precious wildlife like hornbills, local people like Said make a huge difference in keeping these practices at bay and in understanding that their livelihood is connected to the wellbeing of the species that exist in the park. In bringing our money as visitors to places like Ketambe we can help people like Said to continue guiding in and caring for the national park, as long as we do our part and put no unnecessary pressure to get close to wildlife, leave no garbage behind or not care whether the places we explore will survive into the future. If you have any questions or want to get in touch, don’t hesitate to contact us or to send us an email at contact CK30.
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/658
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/554
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/724
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/485
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/325
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/117
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/806
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/391
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/734
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/155
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/935
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/212
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/9
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/165
  • rpoa3mrxxj.pages.dev/8
  • pada hutan gunung leuser terdapat khas hutan